Tabanan – Serangkaian acara World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali yang berlangsung 18 Mei hingga 25 Mei 2024, delegasi Tiongkok yang dipimpin Menteri Sumber Daya Air Li Gouying mengunjungi Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih Kecamatan Penebel pada Minggu (19/5)
Rombongan delegasi sejumlah delapan orang tersebut diterima Manajer Operasional DTW Jatiluwih I Ketut Purna yang mendampingi langsung delegasi melihat terasering sawah yang ada di depan Jatiluwih Resto.
Melalui penerjemahnya, Li Gouying mengaku tertarik dengan pengaturan air di persawahan yang ada di Bali, khususnya di Desa Jatiluwih. Ia sempat menanyakan bagaimana cara mengatur air untuk areal persawahan yang sangat luas.
Menjawab pertanyaan tersebut, I Ketut Purna yang akrab dipanggil dengan nama John ini menjelaskan tentang Subak sebagai organisasi pengaturan air di sawah.
Subak telah dikenal masyarakat Bali sejak ratusan tahun yang lalu. Subak merupakan suatu sistem swadaya masyarakat yang berfungsi mengatur pembagian air irigasi yang mengairi setiap petak area persawahan. Sistem ini dikelola secara berkelompok dan bertingkat yang disertai dengan pembagian peran yang spesifik bagi setiap anggotanya.
“Pembagian air didasarkan atas luasan petakan sawah. Bila sawahnya arealnya kecil jatah airnya sedikit. Sebaliknya bila arealnya luas, jatah airnya juga banyak. Banyak sedikitnya jatah air ditentuakan luas sawahnya dengan menggunakan alat ukur khas Subak,” jelasnya.
Ketut Purna juga menjelaskan Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah (irigasi) yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali. Subak pada umumnya memiliki pura yang dinamakan Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani.
Pura tersebut diperuntukkan bagi Dewi Sri, yaitu dewi kemakmuran dan kesuburan menurut kepercayaan masyarakat Bali. Sistem irigasi ini diatur oleh seorang pemuka adat atau Pekaseh sebagai Ketua Subak yang juga adalah seorang petani di Subak tersebut.
“Menteri Li Gouying sempat menanyakan tentang keberadaan Pura Bedugul, namun karena lokasinya jauh saya bawa ke Pura Dalem yang lokasinya dekat sini karena mereka ingin sekali melihat keberadaan pura,” katanya.
Selain pertanyaan mendetail tentang Subak, ketua delegasi Tiongkok juga sempat menayakan petani di Subak Jatiluwih masih menanam padi beras merah yang umurnya panjang sekitar enam bulan. Kenapa tidak menanam padi unggul yang umurnya hanya tiga hingga empat bulan saja.
Terkait pertanyaan ini, Ketut Purna menjelaskan karena padi beras merah atau yang dikenal dengan nama padi merah Cendana Jatiluwih ini merupakan warisan nenek moyang yang sudah ditanam turun temurun.
“Padi merah Cendana Jatiluwih ini hanya bisa tumbuh di Subak Jatiluwih. Petani di sini pada bulan Januari sejak dulu harus menanam padi jenis ini. Ini sudah menjadi kearifan lokal, kesepakatan petani yang tidak bisa ditawar. Bila dilanggar akan kena sanksi dari Subak,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut Ketut Purna juga menjelaskan, dalam serangkaian kegiatan WWF ke-10 di Bali, selai delegasi Tiongkok juga telah datang ke DTW Jatiluwih mantan Presiden Hongaria.
“Kemarin mantan Presiden Hongaria sudah berkunjung ke sini dan tadi pagi Delegasi Prancis juga berkunjung ke sini,” ujarnya. (CB.1)